Religiusta

Hello world!

In Uncategorized on October 5, 2010 at 5:08 pm

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Hal-hal yang Diharamkan (2)

In Hikmah on September 27, 2010 at 3:30 am
Perbuatan-perbuatan yang telah dijelaskan pada artikel sebelumnya adalah pekerjaan yang diharamkan, karena yang pertama mengandung dharar (bahaya), yang kedua mencontoh pekerjaan Jahiliah, dan perbuatan yang ketiga dapat menghancurkan nasab (keturunan) serta dapat menghilangkan hak orang tua atas anaknya.
Selama masih beriman, seorang muslim harus menghindari perbuatan-perbuatan semacam ini, karena iman dapat mendorongnya untuk menghargai ajaran-ajaran agamanya dan menjauhi perbuatan kaum musyrikin di zaman Jahiliah, tradisi sesat dan legenda-legenda bathil mereka.

Tentang bepergian ke negeri musuh dengan membawa mushaf, hukumnya adalah haram. Ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan kesucian al Qur’an al Karim agar tidak dilecehkan. Karena Allah swt sendiri telah memuliakan al Qur’an dan menjaganya dari hinaan-hinaan dan pelecehan-pelecehan. Allah swt berfirman: “Maka aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui. Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (lauh mahfudz). Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam.” (QS: Al waqi’ah: 75-80). Nabi saw pun telah menegaskan haramnya perjalanan semacam ini dalam hadits muttafaq alaih. Diriwayatkan dari Ibn Umar ra, dia berkata: “Rasulullah saw melarang untuk bepergian ke negeri musuh dengn membawa al Qur’an”.

Hadits ini menunjukkan haramnya bepergian membawa al Qur’an ke negeri musuh, supaya al Qur’an tidak dihina dan direndahkan. Namun jika perjalanannya aman dan terbebas dari kemungkinan semacam itu maka hukum perjalanannya menjadi makruh.
Sedang diam seribu basa pada siang hari, pekerjaan seperti ini termasuk pekerjaan Jahiliah dan merupakan pekerjaan yang paling buruk dan tercela. Allah swt berfirman: “Apakah hokum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hokum) siapakah yang lebih baik daripada (hokum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah: 50)
Abu Daud dengan sanad hasan meriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib ra, bahwa dia berkata: “Aku ingat sabda Rasulullah saw: ‘Seseorang tidak dikatakan anak yatim setelah mengalami mimpi, dan hendaknya tidak berdiam seribu basa seharian sampai malamnya’.”
Al Khathabi dalam menafsirkan hadits ini berkata: “Berdiam diri seribu basa tergolong ke dalam perbuatan Jahiliah. Umat Islam pun akhirnya dilarang Islam untuk mengikuti tradisi ini, bahkan mereka diperintahkan untuk selalu berdzikir dan berkata-kata yang baik.”
Hadits tadi menyatakan habisnya masa yatim dengan tibanya masa baligh, tanda-tanda alami dan atau dengan umur. Sedang tentang haramnya berdiam diri di siang hari sampai malamnya, tidak lain karena perbuatan semacam ini termasuk pekerjaan Jahiliah, di mana mereka dahulu menyangka bahwa diam adalah cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Bukhari meriwayatkan dari Qais bin Abi Hazim, bahwa dia berkata: “Abu Bakar pernah mampir di sebuah rumah seorang perempuan dari Ahmas, bernama Zainab. Abu Bakar melihatnya diam saja, lalu dia bertanya: ‘Ada apa dengan perempuan itu?’ Mereka pun menjawab: ‘dia telah bernadzar untuk diam’. Lalu Abu bakar berkata kepada perempuan itu: ‘Bicaralah! Karena berdiam tidak dihalalkan. sesungguhnya diam termasuk pekerjaan jahiliah’. Akhirnya perempuan itu pun berbicara.”
Seperti hadits sebelumnya, hadits tadi menyatakan haramnya berdiam dan tidak berbicara di siang hari. Tetapi yang disunatkan adalah berkata-kata yang baik, memberi nasehat dalam rangka amar ma’ruf dan nahi mungkar, belajar dan mengajar, dan lain sebagainya. Jika dia telah bernadzar untuk diam dan tidak berbicara, maka nadzarnya tidak perlu dipenuhi.
Sedang kebiasaan menisbatkan diri kepada selain bapak kandung, maka hukumnya adalah haram, karena sama dengan memutar-balikkan fakta dan kenyataan serta bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak.
Jika seseorang melakukan hal tersebut sementara tahu hukumnya haram dan dia menganggapnya halal, biasanya bertendensi untuk mendapatkan kekayaan dan kehormatan orang yang diambil nasabnya. Larangan menasabkan diri kepada selain bapak kandung ini sesuai dengan perintah al Qur’an tentang kewajiban untuk berbakti kepada orang tua dan tetapnya hak nasab bagi bapak, juga sesuai dengan banyak hadits yang menyatakan haramnya perbuatan semacam itu.
Di antara hadits tersebut adalah hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengaku-ngaku keturunan orang selain bapaknya –sementara dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya– maka diharamkan baginya surga.”
Ada juga hadits lain muttafaq alaih, diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Jangan membenci bapak-bapak kalian, siapa yang membenci bapaknya, maka perbuatan itu tergolong kekufuran.”
Kedua hadits ini menunjukkan haramnya penisbatan diri kepada selain bapak kandung, tidak lain untuk menjaga kehormatan nasab dan keturunan secara benar dan untuk menghormati hak seorang bapak atas anaknya. Perbuatan semacam ini adalah salah satu cirri dari perbuatan Arab Jahiliah, karena biasanya mereka berniat mendapatkan kekayaan atau nama baik dan kehormatan keluarga yang diambil nasabnya.
Dalam hadits muttafaq alaih lain yang panjang, diriwayatkan dari Yazid bin Syarik bin Thariq, dia berkata: “Aku menyaksikan Ali bin abi Thalib berkhotbah di atas mimbar, dan aku mendengarnya berkata: ‘Demi Allah, sekali-kali jangan! Kita tidak memiliki kitab untuk dibaca selain Kitab suci Allah, dan tidak ada dalam lembaran[1] ini yang tidak disebarkan. Di dalamnya terdapat (keterangan) tentang gigi-gigi unta dan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban membayar diat luka-luka, dan di dalamnya Rasulullah saw bersabda:
“Kota madinah yang suci adalah kawasan di antara ‘Air dan Tsaur, barangsiapa yang berbuat sesuatu bid’ah (yang bertentangan dengan agama) maka baginya laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima taubat dan pengorbanannya kelak pada hari kiamat. Janji kaum muslimin itu satu, yang dijunjung oleh orang paling bawah sekalipun, barang siapa yang merusak janji seorang muslim maka baginya laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima taubat dan pengorbanannya kelak pada hari kiamat. Dan siapa yang mengaku-ngaku nasab dirinya kepada selain bapaknya atau tuan selain tuannya, maka baginya laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima taubat dan pengorbanannya kelak pada hari kiamat.” (Taufik Munir)


[1] Lembaran yang mencatat semua hal yang didengar Abu Bakar dari Nabi saw.


Hal-hal yang Diharamkan (1)

In Hikmah on September 27, 2010 at 3:28 am
Islam telah mengaramkan beberapa perilaku di antaranya yang dapat membahayakan dan tidak mendatangkan manfaat, seperti sihir. Ada juga perilaku yang bertentangan dengan sifat kelaki-lakian seperti mengenakan emas dan sutera bagi laki-laki, atau perilaku yang menunjukkan kemewahan, seperti menggunakan bejana emas dan perak di rumah atau untuk manfaat lain, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.
Al Qur’an telah menegaskan hukum sihir dan mengkategorikannnya ke dalam kekafiran. Nabi saw sendiri telah memasukkan sihir ke dalam tujuh dosa besar.
Adapun ayat Al Qur’annya adalah firman Allah swt: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir) padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (Al Baqarah: 102)
Atau; bahwa Nabi Sulaiman telah dituduh menggunakan sihir oleh orang-orang Yahudi, dan ini telah dinafikan oleh Allah. Karena sihir mirip dengan kufur, sementara Sulaiman as tidak kafir. Syeitanlah yang kafir di saat mereka mengajari manusia sihir.
Dalam hal ini ayat al Qur’an mengandung ‘Pemalingan sesuatu dari satu kondisi ke kondisi lain dalam pandangan orang yang melihat’. Sihir sama dengan kufur karena seorang penyihir merasa dan meyakini bahwa dia mampu melakukan hal-hal yang luar biasa dan tidak bisa dilakukan oleh siapa pun kecuali Allah ta’ala. Dengan demikian ini mengandung unsur syirik kepada Allah.

Sihir masuk kategori tujuh dosa besar, hal ini telah ditetapkan dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Jauhilah tujuh dosa besar yang dapat merusak! Mereka bertanya: Apa saja itu wahai rasulullah? Lalu beliau menjawab: Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling saat pertempuran, dan menuduh perempuan-perempuan mukminat yang suci.”

Hadits ini jelas memasukkan sihir ke dalam salah satu dosa-dosa besar, dengan demikian hukumnya haram.
Sedang tentang laki-laki yang mengenakan emas dan sutera maka hukumnya haram, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Nasa’ie yang dianggap shahih oleh Abu Musa al Asy’ari ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Emas dan sutera dihalalkan bagi perempuan umatku dan keduanya diharamkan bagi laki-lakinya.”
Hadits ini mengandung bukti jelas akan haramnya laki-laki mengenakan emas dan sutera dan halalnya perempuan mengenakan keduanya.
Sementara tentang penggunaan bejana atau piring emas dan perak untuk segala tujuan yang bermanfaat seperti makan, minum, bersuci dan menyiapkan hidangan untuk tamu dan lain sebagainya, maka hukumnya haram mutlak. Sesuai dengan hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Ummu Salamah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Orang yang minum di cangkir perak sesungguhnya dalam perutnya berkobar api neraka.” Atau: dia akan disiksa dan ke dalam perutnya akan dimasukkan api neraka sehingga suaranya akan terdengar keluar.
Dalam riwayat Muslim: “Sesungguhnya orang yang makan atau minum di bejana perak dan emas di dalam perutnya akan berkobar api neraka jahannam.” Penyiksaan di neraka jahannam dengan berbagai cara merupakan bukti akan haramnya perbuatan yang menyebabkannya.
Ada lagi hadits lain muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Hudzaifah bin al Yaman ra, dia berkata: “Sesungguhnya Nabi saw melarang kita mengenakan sutera dan diibaj[1], serta minum di bejana emas dan perak. Dan beliau bersabda: Semuanya itu adalah khusus untuk orang-orang kafir di dunia, dan untuk kalian di akhirat kelak.”
Dalam riwayat yang termaktub dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari Hudzaifah ra, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Janganlah engkau mengenakan sutera dan diibaj, dan jangan minum dengan cangkir emas dan perak, jangan pula makan dalam nampannya.”
Hadits ini dan hadits sebelumnya menegaskan haramnya laki-laki mengenakan sutera karena bertentangan dengan sifat kelaki-lakian dan sama dengan mengikuti tradisi kaum kafir. Hadits juga menunjukkan haramnya makan dan minum dengan menggunakan nampan atau cangkir emas dan perak. Terkecuali jika mengenakan sutera untuk suatu keperluan, seperti karena penyakit gatal-gatal atau saat peperangan maka hal ini dibolehkan.
Al Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya yang hasan dari Anas bin Serin, dia berkata: “Aku tengah bersama Anas bin Malik ra di tengah beberapa orang Majusi, lalu Anas disuguhkan manisan di atas nampan yang terbuat dari perak. Karena itu Anas tidak memakannya. Lalu dikatakan kepada pelayannya: ‘Gantilah tempatnya’. Kemudian pelayan itupun mengganti nampannya dengan nampan yang terbuat dari kayu dan menghidangkannya. Anaspun memakannya.”
Dalil ini semakna dengan kedua hadits sebelumnya, yaitu menunjukkan haramnya menggunakan bejana emas dan perak untuk makan, minum dan lain sebagainya. Karena mengandung unsur takabbur dan bermewah-mewahan. Kecuali untuk perhiasan perempuan yang terbuat dari emas dan perak dan cincin perak laki-laki yang beratnya kurang dari satu mitsqal (4,45 gram).
Diharamkan juga bagi kaum laki-laki mengenakan pakaian yang telah diolesi za’faran atau ‘ashfar. Sesuai dengan hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, dia berkata: “Nabi saw melarang laki-laki memakai za’faran.” Atau mengolesi pakaian dan badannya dengan za’faran. Za’faran adalah sejenis tumbuhan berwarna kuning yang biasa digunakan untuk mengolesi pakaian.
Muslim meriwatakan dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash ra, dia berkata: “Nabi melihat kedua pakaianku diolesi ‘ashfar, lalu beliau berkata: ‘Apakah ibumu menyuruhmu melakukan hal itu?’ Aku jawab: ‘Apakah aku harus mencucinya?’ Tapi beliau berkata: ‘Bahkan bakarlah keduanya!’
Dalam riwayat lain, beliau bersabda: “Sesungguhnya ini termasuk pakaian orang-orang kafir, maka jangan engkau mengenakannya.”
Hadits ini menunjukkan dilarangnya mengenakan pakaian yang diolesi za’faran atau ‘asfhar. Larangan ini tentunya mengandung pengharaman menurut pendapat sebagian ulama, atau makruh menurut pendapat sebagian lain. Sebab dilarangnya adalah, bahwa hal ini sama dengan menyerupai perempuan yang biasa berhias dengan za’faran dan ‘ashfar tadi. Di samping itu kaum kafir biasa memiliki tradisi mengenakan pakaian ini. Oleh karenanya kita diperintahkan untuk tidak menyerupai mereka. Untuk itu kita mesti mengenakan pakaian khusus orang-orang muslim. Perintah Nabi saw untuk membakar pakaian tersebut tidak lain untuk penegasan larangan tersebut. — (Taufik Munir)


[1] Pakaian tebal yang terbuat dari sutera.